Program optimasi lahan rawa di Merauke semakin menunjukkan hasil yang menggembirakan dengan penerapan mekanisasi dan praktik pertanian modern yang meningkatkan produktivitas secara signifikan.
Dalam kunjungannya ke Distrik Kurik, Dr. Ir. Syahyuti, M.Si, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyampaikan pandangannya mengenai kemajuan program ini dan mengapresiasi kemampuan luar biasa para petani lokal.
“Alhamdulillah, saya berkesempatan bertemu dengan para petani dan penyuluh di Kurik, Merauke. Seorang petani bersama istrinya mampu mengelola 13 hektare lahan berkat mekanisasi penuh. Daerah ini benar-benar menjadi calon pusat pertanian masa depan,” ungkap Syahyuti.
Distrik Kurik yang telah menerapkan metode pertanian modern sejak tahun 1980-an, kini menjadi sorotan karena tingkat mekanisasi yang lebih maju dan produktivitas yang melampaui wilayah lain. Beras dari Kurik kini diekspor ke seluruh Merauke dan Papua Selatan, membuktikan efisiensi metode pertanian yang diterapkan di sana.
“Dengan mekanisasi di Distrik Kurik, Merauke, para petani mampu mengelola hingga 5 hektare lahan per individu, berkat penggunaan alat dan teknik canggih di setiap tahap proses pertanian,” lanjut Syahyuti.
Penggunaan alat mesin pertanian tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga mengurangi biaya produksi, mulai dari pengolahan tanah dengan traktor hingga panen dengan combine harvester.
“Pengolahan tanah menggunakan traktor TR 4, misalnya, memerlukan biaya Rp 1,5 hingga Rp 1,8 juta per hektare. Petani yang memiliki traktor TR 2 sendiri dapat menekan biaya lebih jauh, hanya membayar untuk bahan bakar solar,” tambahnya.
Selain mekanisasi, banyak petani di Merauke masih menggunakan metode tabur benih yang terbukti efisien di daerah tersebut. Mereka juga telah beralih dari penyiangan manual ke penggunaan herbisida, yang menghemat tenaga kerja dan waktu.
“Dengan biaya hanya Rp 150.000 per hektare, meskipun membutuhkan benih lebih banyak (50-80 kg/ha), metode ini sangat efisien,” jelas Syahyuti.
Program optimasi lahan rawa di Merauke ini memberikan harapan baru untuk menjadikan wilayah paling timur Indonesia ini sebagai lumbung pangan.
Hasil panen para petani biasanya langsung dijual ke penggilingan, dengan harga beras medium yang stabil, mencapai Rp 10.000 per kilogram dalam dua tahun terakhir.
Petani di Kurik mampu menghasilkan 6-7 ton gabah kering panen (GKP) per hektar, jauh di atas rata-rata nasional. Setelah digiling, hasilnya sering mencapai 4 ton beras per hektar, dengan rendemen sekitar 60 persen.
Ini setara dengan pendapatan bruto sekitar Rp 40 juta per hektar per musim, dengan keuntungan bersih antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta setelah dikurangi biaya produksi.
Syahyuti menegaskan, “Produktivitas di sini sangat luar biasa. Dengan manajemen yang baik dan investasi mekanisasi yang berkelanjutan, Merauke memiliki potensi besar untuk menjadi pemain kunci dalam strategi ketahanan pangan Indonesia.”
Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Hermanto menegaskan bahwa upaya pemerintah dalam program optimasi lahan mencakup perbaikan saluran irigasi dan pemberian fasilitasi bantuan alat mesin pertanian untuk petani dan kelompok tani.
“Pemerintah juga akan mendampingi mulai dari pengembangan budidaya padi, pemanfaatan alsintan, dan sebagainya. Harapan kami, setelah lahan dioptimalkan, petani dapat menanami dan mengelola lahan tersebut secara berkelanjutan,” ujar Hermanto.
Pendampingan kepada petani, lanjut Hermanto, akan melibatkan penyuluh pertanian di Kabupaten Merauke serta memberikan bimbingan teknis mengenai mekanisasi pertanian.
“Dengan lahan yang luas untuk budidaya pertanian, namun terbatasnya sumber daya manusia di Merauke, penggunaan alat mesin pertanian menjadi sangat penting. Kehadiran alat ini mempercepat proses olah tanah, tanam hingga panen,” tutup Hermanto.