Anak Bos Toko Roti Bisa Bebas Karena Idap Gangguan EQ? Ini Kata Pakar Hukum, Nyali George Kini Ciut
Klarifikasi yang diurai keluarga bos toko roti soal aksi anaknya, George Sugama Halim menganiaya pegawai hingga kepala bocor disorot Pakar Hukum Pidana.
Menurut Pakar Hukum Pidana, Herry Firmansyah, keluarga pelaku hanya mencari-cari alasan terkait perangai buruk George Sugama Halim.
Seperti diketahui, George Sugama Halim resmi dijadikan tersangka setelah videonya saat menganiaya pegawai bernama Dwi Ayu pada Oktober 2024 lalu viral.
Usai kasus anaknya viral, orang tua George pun mengurai klarifikasi mengejutkan yakni membongkar keburukan keluarganya di media sosial.
Dalam klarifikasi tersebut, keluarga menyebut George Sugama Halim memang anak yang bermasalah sejak lama.
Bahkan George Sugama Halim pernah mencelakai ibu kandungnya hingga patah tulang.
George Sugama Halim juga diceritakan pernah melukai sang kakak hingga kepalanya bocor.
Semua hal itu dilakukan George Sugama Halim karena mengidap gangguan Emotional Quotient (EQ) dan Intelligence Quotient (IQ).
“Beliau (George Sugama Halim) merupakan anak pemilik namun memiliki keterbelakangan kecerdasan IQ dan EQ yang sudah pernah dites. “Bukan hanya terjadi kepada saudari (Dwi Ayu) melainkan terjadi juga kepada pemilik dan saudaranya. Pemilik wanita pernah mengalami patah tulang lengan dan memar akibat dibanting oleh pelaku (George),” ungkap keluarga pelaku dalam klarifikasinya.
Tanggapan pakar hukum pidana
Terkait klarifikasi yang diurai keluarga pelaku, Pakar Hukum Pidana, Herry Firmansyah mengurai tanggapan.
Menurut Herry, alibi yang disampaikan keluarga pelaku soal keterbelakangan kecerdasan pelaku adalah cuma untuk mencari-cari alasan.
Tujuannya adalah agar kasus hukum yang menjerat George Sugama Halim bisa dihapuskan sebab pelakunya mengidap keterbelakangan.
“Kalau dalam format hukum pidana, ini akan diarahkan pada alasan menghapus pidana. Kan ada alasan pembenar dan pemaaf. Perbuatannya ada tapi enggak bisa dipidana ini orang karena ada gangguan mental. Agar fair, di ujungnya bisa diketahui benar atau tidak, maka perlu dilakukan serangkaian tes,” ungkap Herry Firmansyah dalam tayangan youtube tv one news, Selasa (17/12/2024).
Lagipula diungkap Herry, aksi penganiayaan yang dilakukan George nyata adanya.
Jika pelaku memang memiliki gangguan emosi, kenapa tidak ada tindakan penanganan ahli atas keterbelakangan tersebut.
Sebab menurut Herry, penganiayaan yang dilakukan pelaku sudah mengancam nyawa orang lain.
Bahkan kata keluarganya sendiri George sudah beberapa kali melakukan kekerasan.
“Itu sudah sangat jelas terang benderang adanya penganiayaan pelaku terhadap korban. Saya rasa tidak perlu ada keterangan ahli untuk menaikkan kasus ini. Sekarang dia menggunakan alasan adanya keterbelakangan mental atau emosional yang tidak stabil. Ini harus berkaitan dengan fakta di kehidupan nyatanya apakah benar terjadi atau dicari-cari masalah ketika perkara ini sudah naik ke proses sidik,” ujar Herry.
“Bahwa itu sudah terjadi berulang kali seharusnya kan ada tindakan preventif (pencegahan). Apalagi kalau kita mendengar dari alasan yang muncul belakangan, itu sudah membahayakan nyawa orang bukan hanya menganiaya, tapi bisa saja menghilangkan nyawa seseorang. Apakah hal seperti ini harus ditoleransi dengan mengatakan dia memiliki masalah keterbelakangan,” sambungnya.
Dalam tanggapannya itu, Herry juga heran dengan klarifikasi yang dibuat keluarga pelaku.
Menurut Herry, klarifikasi tersebut justru akan menimbulkan masalah baru lantaran cuma fokus pada sosok pelaku saja, bukan simpati kepada korban.
“Saya bingung apakah ini permintaan maaf, bentuk sikap empati apa yang terjadi pada korban atau malah surat yang dilabeli untuk pembelaan diri. Seakan-akan bukan hanya anda yang jadi korban bahkan pihak keluarga jadi korban. Menurut saya hal ini menjadi titik lemah dari pernyataan itu, yang tidak mendasarkan pada kepentingan korban, tapi untuk pembelaan diri,” kata Herry.
Adapun terkait dengan cerita keluarga soal pelaku punya keterbelakangan, hal itu harus diselidiki lebih dalam oleh kepolisian.
Polisi harus memeriksa secara utuh soal kebenaran hal tersebut.
“Perlu tes secara scientific agar ini tidak debat kusir, apakah dia terkualifikasi. Bisa dari psikolog yang melakukan tes ke pelaku. Kalau sampai ada perdebatan di ranah publik, bisa saja tidak hanya satu tes pembanding lainnya. Kalau memang benar terpenuhi, ini fakta yang tidak bisa kita hilangkan, kalau ini dihentikan perkaranya, ini harus dikeluarkan produk hukum yang namanya surat perintah penghentian penyidikan,” imbuh Herry.
Namun perihal kasus, Herry menyebut George sudah secara sah bisa dijerat pidana karena bukti telah mendapatkan dua bukti.
“Dalam sebuah proses penegakan hukum pastinya akan proses lidik dan sidik, akan dilihat pemenuhan 2 alat bukti. Dalam hal ini, bukti dari rekaman sudah bisa digunakan alat bukti yang sah. Kedua, saya enggak tahu siapa yang rekam, itu bisa dibuat konfirmasi terkait peristiwa pidana yang dia lihat. Ini sudah memperkuat minimal dua alat bukti,” pungkasnya.
Tak lagi galak, pria berusia 35 tahun asal Cakung Jakarta Timur itu tak berkutik usai menggunakan baju tahanan.
Di depan awak media, nyali George ciut terlebih dicecar wartawan.
George pun mengakui kesalahannya yakni menganiaya pegawai.
“Iya saya khilaf. Iya (menyesal),” kata George gugup.
Dicecar soal alasannya menganiaya orang berulang kali, George kikuk.
“Saya enggak mau komen,” imbuh George.