Seberapa Parah Korupsi di Era Jokowi?
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo mengungkap bahwa dirinya pernah diminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan pengusutan keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu, Setya Novanto dalam kasus korupsi E-KTP. Keterangan itu ia sampaikan pada program Rosi di Kompas TV yang tayang pada 30 November 2023.
Agus menyebut bahwa alasan ia membuka rahasia tersebut karena ia kecewa dengan upaya pemberantasan korupsi yang makin lemah. Setelah era kepemimpinannya berakhir pada 2019 lalu, Agus menyebutkan, indeks persepsi korupsi terus turun. Dari 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022.
Indeks persepsi korupsi adalah riset yang mengukur keparahan korupsi di suatu negara, yang dirilis oleh Transparency International setiap tahunnya. Semakin rendah skor yang diperoleh suatu negara, semakin parah korupsi di negara tersebut. Visualisasi di atas menunjukkan bahwa skor Indonesia pada indeks ini memang mengalami penurunan seperti yang dikatakan oleh Agus.
Padahal, skor indeks persepsi korupsi di era pemerintahan Jokowi relatif lebih tinggi dibanding era-era presiden sebelumnya. Skor tertinggi diperoleh pada indeks persepsi korupsi tahun 2019, yakni 40. Namun, di periode kedua kepresidenan Jokowi, skornya menurun menjadi 37 pada 2020, setahun setelah revisi UU KPK resmi berlaku. Meski sempat naik menjadi 38 pada 2021, namun skornya terjun empat poin menjadi 34 pada 2022. Indonesia terakhir kali memperoleh skor 34 pada tahun 2014.
Kemudian pada hasil Survei Perilaku Anti-Korupsi (SPAK) 2023 yang diadakan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks perilaku anti korupsi (IPAK) tahun ini adalah 3,92, menurun 0,01 poin dibanding tahun sebelumnya. Alhasil, skor IPAK masih belum mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
BPS juga menemukan bahwa gap antara dimensi persepsi dengan dimensi pengalaman masih lebar. Hal ini menandakan bahwa meski kesadaran masyarakat untuk tidak mewajarkan perilaku korupsi semakin bertambah, tetapi kenyataannya mereka masih harus terlibat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) ketika mengakses layanan publik, salah satunya dengan membayar lebih atau memberi suap kepada petugas pelayanan.