Tolak Aturan Rokok, Buruh Ancam Turun ke Jalan Demo Besar-besaran
https://5unsur2spins.com/ ,-Forum diskusi yang diselenggarakan PP FSP RTMM-SPSI tersebut turut mengundang Kemenkes. Namun sayangnya, tidak ada satu pun perwakilan Kemenkes yang hadir. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kemenkes abai terhadap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, proses pembahasan PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes tidak sejalan dengan tata cara perumusan kebijakan yang baik karena minimnya partisipasi bermakna.
Walau tidak pernah dilibatkan, Sudarto menyampaikan bahwa para pekerja di bawah naungannya telah mengirimkan sekitar 20.000 masukan tertulis melalui situs resmi Kemenkes. Harapannya, masukan tersebut bisa diterima dan diakomodasi.
Selain itu, Sudarto mendorong ruang dialog yang ia pandang akan membuka peluang bagi pemerintah untuk mendengarkan aspirasi pekerja. Namun, jika langkah diplomasi tidak berhasil, Sudarto menyatakan kesiapan untuk turun ke jalan menyuarakan aspirasi para pekerja.
“Kami ingin mengambil jalur diplomasi terlebih dahulu, tetapi jika tidak dihiraukan, kami siap untuk bertindak lebih tegas. Kami akan turun ke jalan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sudarto menilai bahwa polemik dalam PP 28/2024 dan RPMK menunjukkan kelalaian pemerintah dalam memperkirakan dampak ekonomi dari regulasi tersebut terhadap pekerja dan industri. Ia khawatir banyak buruh akan menjadi korban PH jika kebijakan ini diterapkan. Ia menekankan pentingnya memperhitungkan dampak kebijakan terhadap tenaga kerja dan sektor terkait.
Kekhawatiran Sudarto ini juga tercermin dari pernyataan Presiden Jokowi yang mengingatkan adanya ancaman badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tahun 2025. Pernyataan ini disampaikan saat menghadiri Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Hotel Alila, Solo, Kamis (19/9/2024).
Jokowi menyebut bahwa dampak ancaman ini bisa menyebabkan hilangnya 85 juta pekerjaan, di saat Indonesia sedang menyambut bonus demografi 2030 yang memerlukan banyak lapangan pekerjaan.
“Kita tahu 96 negara sudah menjadi pasiennya IMF, ini sebuah angka yang menurut saya sangat mengerikan. Oleh sebab itu, kita harus fokus dalam bekerja mengelola ekonomi kita,” imbuhnya.Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) kembali menjadi sorotan lantaran maraknya protes dan penolakan dari berbagai pihak terdampak.
Berdasarkan hasil studi Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), kedua produk regulasi ini berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp308 triliun.
Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, mengatakan implementasi PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes memiliki dampak negatif terhadap ekonomi dan penerimaan negara.
“Pemerintah perlu melihat dampak ekonominya (secara komprehensif). Ini bukan hanya (memberikan dampak bagi) industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, tembakau, cengkeh, termasuk ritel, periklanan dan lainnya yang terdampak,” ungkapnya dikutip Jumat (27/9/2024).
Berdasarkan hasil perhitungan dampak yang dilakukan oleh INDEF dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan, kebijakan tersebut berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB. Selain itu, penerimaan perpajakan diperkirakan menurun hingga Rp160,6 triliun yang setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri tembakau dan produk turunannya.
Senada, Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Nugraha Prasetya Yogie, mengatakan sebagai kementerian yang menaungi industri tembakau, selama ini Kemenperin belum pernah diikutsertakan dalam public hearing yang diinisiasi Kemenkes serta belum pernah mendapat dokumen resmi dari kementerian terkait.